Kalendar Islam merupakan kalendar Bulan atau kalendar Qamariah
murni. Pada zaman Rasullah pengamatan hilal merupakan cara penentuan awal Bulan
Islam dan sekaligus merupakan sumber nilai awal "kriteria yang perlu dirujuk"
dalam merekonstruksi sebuah kalendar Islam.
Awalnya kalendar Hijriah umat Islam mempergunakan hisab Urfi
yang dikenalkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab (17 H or 639 CE). Hisab Urfi
merupakan tahapan yang perlu dilalui dan menjadi pelajaran bagi umat Islam,
karena ibadah Ramadan dan ibadah Haji merupakan kewajiban ibadah yang tidak
bisa menunggu sosok kalendar Islam yang "sempurna". Awal Bulan tidak
lagi ditentukan lewat rukyat maupun hisab hakiki (menghitung langsung posisi
Bulan dan Matahari). Cara semacam ini merupakan cara yang "relatif presisi"
pada zamannya. Hisab Urfi merupakan upaya operasional untuk mengetahui awal bulan
Islam tanpa mempergunakan pengetahuan tentang posisi Bulan dan Matahari seperti
yang dijadikan landasan kalendar taqwim standard maupun kriteria visibilitas
hilal. Pemahaman tentang penentuan posisi Bulan dan hilal melewati zaman
pandangan "model geosentris" maupun "model heliosentris"
alam semesta. Persepsi umat manusia terhadap langit dan benda langit yang
dikenal pada waktu itu masih sangat kompleks dan meragukan. Kini model alam
semesta tersebut telah lebih sempurna, pengetahuan posisi Bulan yang presisi
telah tersedia, sains tentang hilal juga telah berkembang sehingga kontinuitas
"jiwa" tradisi rukyat umat Islam sejak zaman Rasulullah dapat
diwujudkan dalam hisab imkanur rukyat.
Saat ini umat Islam berada dalam transisi menuju sebuah kalendar
dengan hisab hakiki yang presisi dalam mendiskripsikan "hilal". Cara
penetapan awal bulan Islam melalui Hisab dan Rukyat merupakan cara yang lebih
baik, hisab hakiki untuk mendiskripsikan posisi yang akurat, memandu rukyat,
waktu dan posisi saat rukyat akan dilakukan. Karena kalau penentuan awal Bulan
ditentukan murni rukyat dalam suasana mendung bisa istikmal terus menerus
sehingga bisa mengganggu jumlah hari dalam satu bulan Islam, hanya 29 atau 30 hari
saja.
Rukyat diperlukan untuk menetapkan kriteria visibilitas hilal yang
lebih presisi. Rukyat hilal terutama untuk daerah batas ambang visibilitas hilal
yang diketahui manusia akanberkontribusi pemahaman tentang visibilitas hilal.
Perlunya mendudukkan kembali "hilal sebagai acuan awal
Bulan Islam" dalam perspektif rukyat dan hisab. Keragaman kriteria
visibilitas hilal yang dipergunakan dalam hisab hakiki, merupakan indikasi dari
pemahaman sains hilal yang masih perlu terus dikembangkan dan perlu adanya
kesepakatan untuk menjamin kebersamaan dan ketertiban dalam beribadah maupun
berhari Raya.
Kalendar Islam taqwim standar, menjadi acuan Negara, kalendar
tersebut dihitung mempergunakan hisab hakiki dengan kriteria 2-3-8, tinggi
Bulan 2 derajat pada saat Matahari terbenam, jarak sudut Bulan dan Matahari 3
derajat atau usia 8 jam setelah ijtimak. Begitupula hisab hakiki yang presisi
dipergunakan ormas Islam di Indonesia, penggunaan kriteria yang berbeda akan
menghasilkan penetapan awal Bulan Islam (tidak hanya awal Ramadan, Syawal
maupun Dzulhijjah) yang berbeda.
Kriteria 2-3-8 dipergunakan sebagai kriteria kebersamaan dalam
menetapkan awal Bulan Islam di wilayah regional, Negara – Negara MABIMS
(Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura) Langkah kesepakatan kriteria
kebersamaan tidak terhenti dalam kriteria 2-3-8, negara anggota telah
mengevaluasi kriteria 2-3-8 tersebut dengan hasil rukyat sabit bulan setelah
konjungsi atau ijtimak yang tidak berhasil maupun yang berhasil dilihat setelah
matahari terbenam atau dengan hasil rukyat diberbagai tempat. Wakil Negara
MABIMS pada pertemuan di Jakarta pada tanggal 21 – 23 Mei 2014 telah memberi
kritik bahwa kriteria tersebut tidak memenuhi kriteria visibilitas fisik hilal
setelah melakukan pengamatan hilal dan kajian kriteria visibilitas hilal.
Selain itu dalam pertemuan tersebut juga disampaikan saran – saran agar
kriteria 2-3-8 tersebut diubah atau disesuaikan dengan kriteria visibilitas
fisik hilal. Walaupun kriteria visibilitas fisik hilal yang diusulkan untuk
keperluan kriteria awal bulan Islam masih bervariasi (tidak unik), kajian
menyeluruh (komprehensif) serta persiapan perubahan kriteria perlu terus
dilakukan sebelum diambil kesepakatannya. Naskah akademik juga perlu disiapkan
dalam 2 tahun ke depan, mengingat perjalanan "yang relatif panjang"
masih akan ditempuh untuk penyatuan kalendar Islam dalam kawasan Nasional,
Regional, Internasional.
Ijtimak
dan Gerhana Matahari
Umat
Islam sepakat bahwa penentuan awal bulan Islam di dahului dengan fenomena
ijtimak atau konjungsi, kedudukan Bulan dan Matahari pada bujur ekliptika yang
sama. Bila pada saat ijtimak kedudukan Matahari dekat dengan titik simpul orbit
Bulan mengelilingi Bumi dan memenuhi persaratan gerhana maka akan terjadi
gerhana Matahari. Jadi tidak semua konjungsi terjadi fenomena gerhana Matahari.
Fenomena ijtimak merupakan fenomena geosentrik (acuan pusat Bumi, Bulan dan
Matahari) sedang fenomena gerhana Matahari merupakan fenomena toposentrik
(acuan pada permukaan Bumi) sehingga terdapat perbedaan waktu pada momen
pertengahan gerhana Matahari dengan momen ijtimak. Tahun 2014 terdapat fenomena
gerhana Matahari pada Gerhana Matahari Cincin (GMC), GMC 29 April 2014 merupakan
Gerhana Matahari ke 21 dari 75 gerhana dalam seri Saros 148. GMC 29 April 2014
bertepatan dengan ijtimak akhir Jumadil Akhir 1435 H yaitu pada hari Selasa
tanggal 29 April 2014 pada jam 13:14 wib. Berikutnya adalah gerhana Matahari
Sebagian/Parsial (GMS), GMS 23-24 Oktober 2014 merupakan Gerhana Matahari ke 9
dari 70 gerhana dalam seri Saros 153. GMS 23-24 Oktober 2014 bertepatan dengan
ijtimak akhir Dzulhijjah 1435 H yang akan berlangsung pada hari Jum'at tanggal
24 Oktober 2014 jam 04:57 wib. Namun gerhana Matahari akhir Dzulhijjah 1435 H
tersebut tidak bisa disaksikan dari wilayah Indonesia.
Posisi
Bulan Penentuan Awal Bulan Ramadan 1435 H
Sebelum
awal bulan Ramadan 1435 H di dahului dengan fenomena konjungsi akhir Sya'ban.
Ijtimak akhir Sya'ban 1435 H berlangsung pada hari Jum'at 27 Juni 2014 jam
15:10 wib. Tinggi Bulan saat Matahari terbenam pada tanggal 27 Juni 2014 di
wilayah Indonesia (antara + 1 dan -1 derajat) kurang dari 2 derajat, misalnya
di Pelabuhan Ratu adalah minus – 0ยบ 2′ 56".3; dalam kondisi semacam ini
mustahil untuk bisa berhasil mengamati hilal walaupun langit cerah. Selain itu,
kedudukan Bulan pada saat Matahari terbenam 27 Juni 2014 tersebut belum
memenuhi persyaratan kriteria bersama/kesepakatan regional 2-3-8. Jadi bulan
Sya'ban 1435 diistikmalkan, kemungkinan 1 Ramadan 1435 H jatuh pada tanggal 28
Juni 2014 setelah maghrib, awal shalat tarawih tanggal 28 Juni 2014 dan awal
shaum Ramadan 1435 H, Ahad, 29 Juni 2014. Kepastian penetapan awal Ramadan 1435
H dalam sidang itsbat Jum'at 27 Juni 2014. Insyaallah negara MABIMS secara
serempak memulai shaum Ramadan 1435 H pada hari Ahad, 29 Juni 2014.
Pengamatan
Hilal di Wilayah Indonesia
Partisipasi
luas pengamatan hilal pada waktu sidang itsbat oleh ormas Islam, KEMENAG,
lembaga pemerintah BMKG, LAPAN, Observatorium Bosscha ITB, perguruan tinggi,
komunitas pemburu hilal di Indonesia sebagian memperoleh fasilitas streaming
KOMINFO dan sekaligus juga menjadi masukan dalam sidang itsbat KEMENAG yang
dipimpin oleh Menteri Agama RI. Selain itu pengamatan hilal di wilayah
Indonesia merupakan upaya yang serius dalam upaya penyatuan kalendar Islam.
Pengamatan hilal sesudah itsbat awal Bulan juga masih diperlukan untuk
memperoleh informasi ilmiah tentang hilal. Informasi ilmiah pengamatan hilal penting
untuk merumuskan kriteria visibilitas fisik hilal yang pada akhirnya
memantapkan posisi kalendar Islam dari perspektif Syariah dan sains hilal.
Pengamatan sabit Bulan atau hilal pada siang hari diperlukan untuk
mengembangkan teknik pengamatan hilal yang lebih baik dan memahami
karakteristik serapan angkasa Bumi terhadap pelemahan sabit Bulan yang berada
di dekat horison/ufuk barat. Sumber:nationalgeographic
|
Selamat Menunaikan Ibadah Shaum 1435H |